Jumat, 16 Januari 2015

LAPORAN PENDAHULUAN (FRAKTUR CRURIS)



 (FRAKTUR CRURIS)

A.  Pengertian
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenal stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Brunner&Suddart).
B.  Jenis Fraktur
1.   Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
2.   Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
3.   Fraktur tertutup : fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
4.   Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membrane mukosa sampai kepatahan tulang.
5.   Greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkak.
6.   Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang
7.   Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
8.   Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam
9.   Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
10. Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligament atau tendo pada daerah perlekatannnya.
C.  Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart (2003) adalah sebagai berikut:
  1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
  2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
  3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
  4. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
  5. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.
D.  Patofisiologi Nursing Patyways
Trauma langsung, trauma tidak langsung, kondisi patologis

Fraktur cruris
Diskontinuitas tulang
pergeseran fragmen tulang

mendesak sel saraf         deformitas  Perub. Jaringan sekitar
pelepsn histamine    keruskan frakmen tlg   laserasi kulit
melepaskan katekolamin     krepitasi tulang           perdarahan
spasme otot          putusnya vena/arteri
Nyeri
     tek.Ssm         tlg>tinggi kapiler prot.    Plasma hilang
Kerusakan integritas kulit
Devisit Volume Cairan
edema bergabung dg trombosit
      emboli
    
menekan pemb. darah
Penurunan perfusi jaringan
menyumbat pemb.darah



E.  Manifestasi Klinis
a.   Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b.   Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c.   Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d.   Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e.   Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit
F.  Pemeriksaan Penunjang
a.   Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b.   Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c.   Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d.   Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
G.  Penatalaksanaan Medis & Keperawatan
a.   Recognisi: melihat kondisi fraktur, luasnya, dan jenis frakturnya
b.   Reduksi :reduksi fraktur terbuka atau tertutup; tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
c.   Imobilisasi : dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna/interna, mempertahankan dan mengembalikan fungsi (pemberiaan analgesik, status neurovaskuler, latihan isometric & setting otot untuk meminimalkan atrofi otot), melaksanakan manajemen nyeri
d.   Rehabilitasi
H.   Komplikasi
a.   Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b.   Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c.   Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
I.  Konsep Asuhan Keperawatan
1.   Pengkajian Data Dasar
a.  Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
keterbatasan mobilitas
b.  Sirkulasi
Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas. Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah). Tachikardi, Penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, Capilary refill melambat, Pucat pada bagian yang terkena. Masa hematoma pada sisi cedera
c.  Neurosensori
Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan
kelemahan
d.  Kenyamanan
nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kramotot
e.  Keamanan
laserasi kulit,  perdarahan, perubahan warna,  pembengkakan lokal
2.   Prioritas Keperawatan
a. Mencegah cedera tulang/ jaringan lanjut
b. Menghilangkan nyeri
c. Mencegah komplikasi
d. Memberikan informasi tentang kondisi dan kebutuhan
   pengobatan
3.   Diagnosa Keperawatan
a.  Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
b.  Nyeri b.d spasme otot, pergeseran fragmen tulang
c.  Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka, bedah perbaikan
4.   Intervensi
a.  Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitar fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan :kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan.
Kriteria hasil:
1)  Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
2)  Mempertahankan posisi fungsi tulang
3)  Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
4)  Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
1)  Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
2)  Tinggikan ekstrimitas yang sakit
3)  Instruksikan klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
4)  Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit diatas dan dibawah fraktur ketika bergerak
5)  Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
6)  Berikan dorongan adapasi untuk melakukan AKS dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan ’Awasi tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas
7)  Ubah posisi secara periodic
8)  Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.  Nyeri b.d spasme otot, pergeseran fragmen tulang
Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
         perawatan
Kriteria hasil:
1)  Klien menyatakan nyeri berkurang
2)  Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
3)  Tekanan darah normal
4)  Tidak ada peningkatan nadi dan RR
Intervensi:
1.  Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri
2.  Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
3.  Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
4.  Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
5.  Jelaskan prosedur sebelum memulai
6.  Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif
7.  Dorong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
8.  Observasi tanda-tanda vital
9.  Kolaborasi : pemberian analgetik
c.  Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka, bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
1)  Penyembuhan luka sesuai waktu
2)  Tidak ada laserasi,
3)  Integritas kulit baik
Intervensi:
1.  Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainase
2.  Monitor suhu tubuh
3.  Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
4.  Lakukan alih posisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
5.  Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
6.  Masage kulit sekitar akhir gips dengan alcohol
7.  Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
8.  Kolaborasi pemberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

Donges Marilynn, E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Price Sylvia, A. 1999. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid2 .Edisi 4. Jakarta: EGC
Smeltzer Suzanne, C. 1997. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8.Vol 3. Jakarta: EGC
Tucker, Susan Martin. 1993. Standar Perawatan Pasien, Edisi  V, Volume 3. Jakarta: EGC



LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOSARKOMA



LAPORAN PENDAHULUAN
OSTEOSARKOMA

A.  DEFINISI
Sarkoma adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle. 1999: 244 ). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel anaplastik yang menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh dalam tubuh.( Wong. 2003: 595 ).
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 ).
Sarkoma osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang tempat yang paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut. ( Price. 1998: 1213 ).
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna yang paling sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen awal ke paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma sering sudah menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.( Smeltzer. 2001: 2347 ).
Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia proksimal dan humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis, kolumna, vertebra, mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan dan kaki. Lebih dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut. ( Otto.2003 : 72 ).
Sarkoma osteogenik atau osteosarkoma adalah merupakan neoplasma tulang primer yang sangat ganas.
Osteosarkoma merupakan tumor tulang maligna primer yang paling lazim dan seringkali berakibat fatal dan dapat timbul sebagai metastase sekunder dari ekstrimitas tungkai pada 50% kasus. Biasanya terdapat pada lokasi bekas radiasi atau lebih sering sebagai penyerta pada penyakit paget. Osteosarkoma sering terjadi pada laki-laki pada kelompok usia 10-25 tahun dan pada orang tua yang mengalami penyakit paget.

B.  ETIOLOGI
1.  Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
2.  Keturuna
3.  Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi).
4.  Virus onkogenik ( Smeltzer. 2001: 2347 ).

C.  ANATOMI DAN FISIOLOGI
Tulang paha atau femur adalah bagian tubuh terbesar dan tulang terkuat pada tubuh manusia. Ia menghubungkan tubuh bagian pinggul dan lutut. Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplaii darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan ke bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit.
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.

D.  PATOFISIOLOGI
Sarkoma osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut.
Penyebab osteosarkoma belum jelas diketahui, adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu predisposisi. Begitu pula adanya hereditery. Dikatakan beberapa virus onkogenik dapat menimbulkan osteosarkoma pada hewan percobaan. Radiasi ion dikatakan menjadi 3% penyebab langsung osteosarkoma. Akhir-akhir ini dikatakan ada 2 tumor suppressor gene yang berperan secara signifikan terhadap tumorigenesis pada osteosarkoma yaitu protein P53 ( kromosom 17) dan Rb (kromosom 13).
Lokasi tumor dan usia penderita pada pertumbuhan pesat dari tulang memunculkan perkiraan adanya pengaruh dalam patogenesis osteosarkoma. Mulai tumbuh bisa didalam tulang atau pada permukaan tulang dan berlanjut sampai pada jaringan lunak sekitar tulang epifisis dan tulang rawan sendi bertindak sebagai barier pertumbuhan tumor kedalam sendi. Osteosarkoma mengadakan metastase secara hematogen paling sering keparu atau pada tulang lainnya dan didapatkan sekitar 15%-20% telah mengalami metastase pada saat diagnosis ditegakkan. (Salter, robert : 2006).
Adanya tumor di tulang menyebabkan reaksi tulang normal dengan respons osteolitik (destruksi tulang) atau respons osteoblastik (pembentukan tulang).
Beberapa tumor tulang sering terjadi dan lainnya jarang terjadi, beberapa tidak menimbulkan masalah, sementara lainnya ada yang sangat berbahaya dan mengancam jiwa.
Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang panjang dan biasa ditemukan pada ujung bawah femur, ujung atas humerus dan ujung atas tibia. Secara histolgik, tumor terdiri dari massa sel-sel kumparan atau bulat yang berdifferensiasi jelek dan sring dengan elemen jaringan lunak seperti jaringan fibrosa atau miksomatosa atau kartilaginosa yang berselang seling dengan ruangan darah sinusoid. Sementara tumor ini memecah melalui dinding periosteum dan menyebar ke jaringan lunak sekitarnya; garis epifisis membentuk terhadap gambarannya di dalam tulang.
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.
















F.  ABSES
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksii bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses; hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.

G.  GAMBARAN KLINIS
1.  Rasa sakit (nyeri), Nyeri dan atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit).
2.  Pembengkakan, Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas (Gale. 1999: 245).
3.  Keterbatasan gerak
4.  Fraktur patologik.
5.  Menurunnya berat badan
6.  Teraba massa; lunak dan menetap dengan kenaikan suhu kulit di atas massa serta distensi pembuluh darah maupun pelebaran vena.
7.  Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan menurun dan malaise (Smeltzer. 2001: 2347).




H.  LABORATORIUM dan RADIOGRAFI
Studi radiografikal, scan MRI dan CT pada tulang yang terkena penyakit, mielogram, artetiografi, dan essai biokimia darah dan urine akan memberikan informasi diagnostic. Pada radiografi, terdapat tanda kerusakan tulang di dalam diafisis dengan erosi korteks tulang, terangkatnya periosteum terlihat pada tepi lesi di tempat terbentuknya tulang baru di bawah (segitiga codman). Terbentuknya tulang baru terlihat di dalam medula atau korteks tulang, tergantung dari tumor tersebut apakah osteolitik atau osteoblastik.

I.  PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1.  Pemeriksaan radiologis menyatakan adanya segitiga codman dan destruksi tulang.
2.  CT scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru.
3.  Biopsi terbuka menentukan jenis malignansi tumor tulang, meliputi tindakan insisi, eksisi, biopsi jarum, dan lesi- lesi yang dicurigai.
4.  Skening tulang untuk melihat penyebaran tumor.
5.  Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan adanya peningkatan alkalin fosfatase.
6.  MRI digunakan untuk menentukan distribusi tumor pada tulang dan penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya.
7.  Scintigrafi untuk dapat dilakukan mendeteksi adanya “skip lesion”, ( Rasjad. 2003).









J.  KOMPLIKASI
1.  Akibat langsung : Patah tulang
2.  Akibat tidak langsung : Penurunan berat badan, anemia, penurunan kekebalan tubuh
3.  Akibat pengobatan : Gangguan saraf tepi, penurunan kadar sel darah, kebotakan pada kemoterapi.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN OSTEOSARCOMA

A.  PENGKAJIAN
1.  Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidkan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan lain-lain.

2.  Riwayat kesehatan
a.  Pasien mengeluh nyeri pada daerah tulang yang terkena.
b.  Klien mengatakan susah untuk beraktifitas/keterbatasan gerak
c.  Mengungkapkan akan kecemasan akan keadaannya

3.  Pengkajian fisik
a.  Pada palpasi teraba massa pada derah yang terkena.
b.  Pembengkakan jaringan lunak yang diakibatkan oleh tumor.
c.  Pengkajian status neurovaskuler; nyeri tekan
d.  Keterbatasan rentang gerak

4.  Hasil laboratorium/radiologi
a.  Terdapat gambaran adanya kerusakan tulang dan pembentukan tulang baru.
b.  Adanya gambaran sun ray spicules atau benang-benang tulang dari kortek tulang.
c.  Terjadi peningkatan kadar alkali posfatase.


B.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.  Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan (amputasi).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah nyeri akut teratasi seluruhnya.
DS : Klien mengatakan nyeri sebelum dan setelah pembedahan
DO :
a.  Fokus diri klien tampak menyempit, dan
b.  Perilaku klien tampak melindung diri / berhati-hati.
Kriteria Hasil :
a.  Klien mengatakan nyeri hilang dan terkontrol,
b.  Klien tampak rileks, tidak meringgis, dan mampu istirahat/tidur dengan tepat,
c.  Tampak memahami nyeri akut dan metode untuk menghilangkannya, dan
d.  Skala nyeri 0-2.

Intervensi:
a.  Catat dan kaji lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan karakteristik nyeri.
R / : Untuk mengetahui respon dan sejauh mana tingkat nyeri pasien.
b.  Berikan tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan lembut).
R / : Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka.
c.  Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
R / : Peningkatan vena return, menurunkan edema, dan mengurangi nyeri.
d.  Berikan lingkungan yang tenang.
R / : Agar pasien dapat beristirahat dan mencegah timbulnya stress.
e.  Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian analgetik, kaji efektifitas dari tindakan penurunan rasa nyeri.
R / : Untuk mengurangi rasa sakit / nyeri.

2.  Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan   muskuluskletal, nyeri, dan amputasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah kerusakan mobillitas fisik teratasi seluruhnya.
DS : Klien mengatakan sulit untuk bergerak
DO : Klien tampak mengalami Gangguan koordinasi; penurunan kekuatan otot, kontrol dan massa.
Kriteria Hasil :
a.  Pasien menyatakan pemahaman situasi individual, program pengobatan, dan tindakan keamanan,
b.  Pasien tampak ikut serta dalam program latihan / menunjukan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas,
c.  Pasien menunjukan teknik / perilaku yang memampukan tindakan beraktivitas, dan
d.  Pasien tampak mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.

Intervensi :
a.  Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi tersebut.
R /: Pasien akan membatasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak proporsional).
b.  Dorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca koran dll ).
R / : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
c.  Anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.
R / : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.

d.  Bantu pasien dalam perawatan diri.
R / : Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam mengontrol situasi, meningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
e.  Berikan diit Tinggi protein Tinggi kalori , vitamin ,  dan mineral.
R / : Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB.
f.  Kolaborasi dengan bagian fisioterapi.
R / : Untuk menentukan program latihan.


3.  Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan penekanan pada daerah tertentu dalam waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam masalah kerusakan integritas kulit / jaringan taratasi seluruhnya.

Kriteria Hasil : Klien Menunjukkan prilaku / tehnik untuk mencegah kerusakan kulit tidak berlanjut.

Intervensi :
a.  Kaji adanya perubahan warna kulit.
R / : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit.
b.  Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
R / : Untuk menurunkan tekanan pada area yang peka resiko kerusakan kulit lebih lanjut.
c.  Ubah posisi dengan sesering mungkin.
R / : Untuk mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan  resiko kerusakan kulit.
d.  Beri posisi yang nyaman kepada pasien.
R / : Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan  cedera kulit / kerusakan kulit.
e.  Kolaborasi dengan tim kesehatan dan pemberian zalf / antibiotic.
R / : Untuk mengurangi terjadinya kerusakan integritas kulit.


























DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Ed 8. EGC. Jakarta.

Doengoes, Marilynn E. Et al. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Rahmadi, Agus. 1993. Perawatan Gangguan Sistem Muskuloskletal. Banjarbaru: Akper Depkes.

Reeves, J. Charlene. Et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed. I. Salemba medika. Jakarta

Tucker, Susan Martin et al.1999, Standar Perawatan Pasien Edisi V Vol 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC

--. 2003. Catatan Kuliah Medikal Badah III. (Print out). Jurusan Keperawatan Banjarbaru